Kucing Hitam Peliharaan Mbah Ji


                    gambar diambil dari pexel


Kabar tentang Mbah Ji sakit sudah kudengar lama. Tidak parah, ya sakit-sakitnya orang sudah tualah. Karena itu, kupikir nanti-nanti saja menjenguknya, kalau nanti kebetulan meninjau kelurahan tempat Mbah Ji tinggal.


Tugasku sebagai sekretaris di kecamatan kadang-kadang tidak tentu jadwalnya, seringnya mendampingi Pak Camat berkeliling kelurahan. Kalau kebetulan satu kecamatan, aku bisa sekalian bersilaturahmi dengan beberapa keluarga yang jarang bertemu. 


Kemarin keponakanku memberi kabar lagi, Mbah Ji sudah tidak mau makan dan minum samasekali. Sudah hampir sebulan. Mendengarnya tentu aku heran, to? Kata kemanakanku Mbah Ji itu ilmunya tinggi, makanya gak mati-mati. 


Kurang ajar benar ini bocah, aku tertawa dalam hati. 


“Kata siapa?” tanyaku agak kesal.

“Kata orang-oranglah.” dia tidak mau kalah, biasalah anak remaja, suka ngeyelan.

“Kamu pernah lihat sendiri keadaan Mbah Ji?”

“Ya belum sih, Bulek. Tapi masa iya mereka bohong?” jawabnya mulai melunak. Ekspresinya membuatku urung bertanya lagi. 


Sudah jelas, beritanya cuma dari mulut ke mulut. Kebenarannya tidak bisa Kucing Hitam Peliharaan Mbah Ji


Kabar tentang Mbah Ji sakit sudah kudengar lama. Tidak parah, ya sakit-sakitnya orang sudah tualah. Karena itu, kupikir nanti-nanti saja menjenguknya, kalau nanti kebetulan meninjau kelurahan tempat Mbah Ji tinggal.


Tugasku sebagai sekretaris di kecamatan kadang-kadang tidak tentu jadwalnya, seringnya mendampingi Pak Camat berkeliling kelurahan. Kalau kebetulan satu kecamatan, aku bisa sekalian bersilaturahmi dengan beberapa keluarga yang jarang bertemu. 


Kemarin keponakanku memberi kabar lagi, Mbah Ji sudah tidak mau makan dan minum samasekali. Sudah hampir sebulan. Mendengarnya tentu aku heran, to? Kata kemanakanku Mbah Ji itu ilmunya tinggi, makanya gak mati-mati. 


Kurang ajar benar ini bocah, aku tertawa dalam hati. 


“Kata siapa?” tanyaku agak kesal.

“Kata orang-oranglah.” dia tidak mau kalah, biasalah anak remaja, suka ngeyelan.

“Kamu pernah lihat sendiri keadaan Mbah Ji?”

“Ya belum sih, Bulek. Tapi masa iya mereka bohong?” jawabnya mulai melunak. Ekspresinya membuatku urung bertanya lagi. 


Sudah jelas, beritanya cuma dari mulut ke mulut. Kebenarannya tidak bisa Kucing Hitam Peliharaan Mbah Ji


Kabar tentang Mbah Ji sakit sudah kudengar lama. Tidak parah, ya sakit-sakitnya orang sudah tualah. Karena itu, kupikir nanti-nanti saja menjenguknya, kalau nanti kebetulan meninjau kelurahan tempat Mbah Ji tinggal.


Tugasku sebagai sekretaris di kecamatan kadang-kadang tidak tentu jadwalnya, seringnya mendampingi Pak Camat berkeliling kelurahan. Kalau kebetulan satu kecamatan, aku bisa sekalian bersilaturahmi dengan beberapa keluarga yang jarang bertemu. 


Kemarin keponakanku memberi kabar lagi, Mbah Ji sudah tidak mau makan dan minum samasekali. Sudah hampir sebulan. Mendengarnya tentu aku heran, to? Kata kemanakanku Mbah Ji itu ilmunya tinggi, makanya gak mati-mati. 


Kurang ajar benar ini bocah, aku tertawa dalam hati. 


“Kata siapa?” tanyaku agak kesal.

“Kata orang-oranglah.” dia tidak mau kalah, biasalah anak remaja, suka ngeyelan.

“Kamu pernah lihat sendiri keadaan Mbah Ji?”

“Ya belum sih, Bulek. Tapi masa iya mereka bohong?” jawabnya mulai melunak. Ekspresinya membuatku urung bertanya lagi. 


Sudah jelas, beritanya cuma dari mulut ke mulut. Kebenarannya tidak bisa dipertanggungjawabkan.


Entah berita baik atau buruk, kabar duka cita itu akhirnya tiba  juga. Aku pergi melayat. Wajah-wajah cemas dan tegang menyelimuti ruangan berukuran 4x5m itu. Daripada ngobrol, aku memilih membaca Alquran, kuhadiahkan buat almarhum. 


Hubungan kami tidak akrab, namun, almarhum bapakku sangat menghormatinya. Aku tidak tahu benang merah yang menghubungkan keduanya sehingga karib. Entah berasal dari kampung yang sama, atau karena hubungan kekeluargaan, aku tidak pernah bertanya langsung. Yang kuingat, setiap Mbah Ji berkunjung, mereka mengobrol cukup lama, hampir semalam suntuk, terutama setiap bulan Suro.


“Eh, eh, dijaga, jangan sampe kecolongan, aku mau ke belakang sebentar!” ucap salah seorang saudara perempuan Mbah Ji, Nek Jum.


Beberapa orang yang duduk mengelilingi jenazah tergeragap. Memang sedari tadi mereka berjuang melawan kantuk sampai terdekluk-dekluk. Saling colek mengusir kantuk, tidak lama terdekluk lagi. Kenapa tidak istirahat bergantian? Padahal sejak kemarin mereka pasti belum tidur, aneh, pikirku. 


Tiba-tiba orang-orang berteriak histeris, berlarian menjauhi jenazah. Kututup mushab cepat-cepat, kudekap di dada. Entah apa gerangan yang membuat mereka seperti melihat setan. Aku masih duduk terpaku ketika jenazah ditinggal sendiri, diendus endus oleh seekor kucing hitam.


“Gimana ini, gimana? Wah cilaka..” entah siapa yang menceracau tak keruan itu. Aku tidak beranjak dari dudukku, meskipun ada yang mengode agar menjauh. 


Di belakang mereka gaduh saling menuduh, siapa yang telah lalai menjaga kucing hitam peliharaan Mbah Ji? 


Mengapa mereka takut pada seekor kucing? Padahal kucing hitam itu sedang berkabung, menangisi tuannya.


“Ayo diusir kucingnya, diusir saja!” anak tertua Mbah Ji, Bang Katio berteriak dari balik pintu. Dia sendiri cuma mengacung-acungkan tangan.


Melihat mereka panik, aku mendekati kucing berbulu hitam legam mengkilap itu. Kuelus-elus bulunya, aku berusaha memahami instingnya, seolah-olah aku turut berduka semendalam dia.


Kucing itu seperti merintih, menyelusupkan kepalanya di balik kain penutup jenazah. Sekonyong-konyong orang-orang menjerit.


Demi agar mereka tenang, kucing itu kugendong, membawanya ke dapur. 


Setelah kami beranjak, para lelaki  segera mengangkat jenazah untuk dimandikan. Salah seorang berucap syukur, untung saja jenazah tidak sempat dilangkahi, cuma diendus-endus. Ada juga yang memujiku hebat, karena berani memegang kucing hitam yang sedang ‘ketempelan'. 


Di dapur, kulihat persediaan pakan kucing dan printilan kebutuhannya tersusun rapi. Kupikir, wajar saja kalau kucing itu kehilangan, Mbah Ji merawatnya dengan telaten.


Kucing hitam itu lapar, ia makan dengan lahap, wet food yang kusodorkan ke mulutnya habis tak bersisa. Orang-orang memedulikan Mbah Ji, tetapi melupakan kucing kesayangannya yang kelaparan. 


Tiba-tiba kucing hitam itu berlari ke ruangan. Orang-orang histeris lagi.


Kucing hitam itu melompati jenazah, menciumi bagian muka Mbah Ji. Ia sedang kehilangan orang yang paling mengasihinya. Kucing hitam itu merintih, seolah mengucapkan selamat tinggal, lalu melompat ke pangkuanku. 


Orang-orang terdiam terpaku.


“Mari Bapak-Bapak, kita sholatkan ke masjid!" ajak pak bilal jenazah. Tidak seorang pun beranjak. 


"Menunggu apa lagi, nanti keburu masuk waktu zuhur, loh!” pak bilal sedikit kesal. 


Akhirnya, setelah didesak, empat lelaki bertubuh kuat dengan wajah ragu mengangkat keranda jenazah. 


Kucing hitam berlari ke kamar. Ia mengeong-ngeong,  kepalanya digosok-gosokkan ke tiang besi tempat menggantung botol infus. Kutunggui kucing hitam itu mengenang pengasuhnya, mengucapkan selamat tinggal. 


Dan aku tidak butuh izin siapapun untuk membawanya pulang.



Komentar

Postingan Populer